Thursday, 28 November 2013

BERGAUL DENGAN AKHLAK YANG BAIK

Mungkin pembaca pernah mendengar atau membaca hadis Abu Dzar Al-Ghifari radiyallahu anhu yang menyebutkan sabda Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama:
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Susulilah kejelekan dengan kebaikan, nescaya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan tersebut, dan bergaul-lah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 5/135, 158, 177, At-Tirmidzi no. 1987, dan selain keduanya. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 97 dan di kitab lainnya)
Hadis ini, kata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As Sa’di rahimahullah, merupakan hadis yang agung. Di dalamnya, Rasul yang mulia salla Allah alaihi wa sallama mengumpulkan hak Allah Ta’ala dan hak hamba-hamba-Nya. Hak Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya adalah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Mereka berhati-hati dan menjaga diri agar tidak mendapatkan kemurkaan dan azab-Nya, dengan menjauhi perkara-perkara yang dilarang dan menunaikan kewajiban-kewajiban. Wasiat takwa ini merupakan wasiat Allah Ta’ala kepada orang-orang terdahulu mahupun terkini. Sebagaimana takwa merupakan wasiat setiap rasul kepada kaumnya, di mana sang rasul menyerukan:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan bertakwalah kepada-Nya.” (Nuh: 3)
Tentang perangai orang yang bertakwa ini, Allah Ta’ala sebutkan antara lain dalam firman-Nya berikut ini:
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan solat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang orang yang benar imannya dan mereka itulah orang orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Iaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang mahupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)
Allah Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang yang bertakwa sebagai orang yang beriman dengan pokok-pokok keimanan (rukun iman), keyakinan-keyakinan, dan amal-amalnya, baik secara zahir mahupun batin, dengan menunaikan ibadah-ibadah badaniyah (yang dilakukan tubuh) dan maliyah (ibadah dengan harta). Orang yang beriman adalah orang yang sabar dalam kesulitan dan kesempitan, memaafkan manusia, menanggung gangguan dari mereka dengan tabah justeru berbuat baik kepada mereka. Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang bersegera meminta ampun dan taubat tatkala mereka terjatuh dalam perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri.
Dalam hadis Abu Dzar radiyallahu anhu di atas, Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama mewasiatkan agar seorang hamba terus-menerus bertakwa di mana saja dia berada, di setiap waktu dan setiap tempat, serta dalam segala keadaannya. Kenapa demikian? Kerana si hamba sangat memerlukan takwa, tidak pernah terlepas darinya. Apabila terlepas, ia akan binasa.
Namun yang namanya manusia mesti ada kekurangannya dalam menjalankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban takwa. Maka Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama memerintahkan untuk melakukan perkara yang dapat membersihkan kecacatan tersebut dan menghilangkannya. Iaitu, apabila si hamba terjatuh ke dalam keburukan maka ia bersegera menyusulinya dengan hasanah (kebaikan).
Hasanah sendiri adalah nama dari segala perbuatan yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Hasanah yang paling agung yang dapat menolak kejelekan adalah taubat nasuha, istighfar, dan inabah (kembali) kepada Allah Ta’ala dengan mengingati dan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, serta bercita-cita untuk meraih keutamaan-Nya pada setiap waktu.
Termasuk hasanah yang dapat menolak kejelekan adalah memaafkan manusia, berbuat baik kepada makhluk Allah Ta’ala, menolong orang yang sedang ditimpa musibah, memberikan kemudahan bagi orang yang dalam kesulitan, menghilangkan kemudaratan dan kesempitan dari hamba-hamba Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)
Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama bersabda:
“Solat yang lima, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus kesalahan yang dilakukan di antaranya, selama dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
Banyak lagi dalil lain yang menunjukkan diperolehnya ampunan berkat amalan ketaatan.
Musibah yang menimpa seorang hamba juga merupakan penghapus kesalahan. Kerana tidaklah seorang mukmin ditimpa kesedihan, gundah gulana, sakit bahkan sekadar tertusuk duri melainkan Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana dikabarkan dalam hadis Abu Hurairah radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 5641) dan Muslim (no. 2753).
Musibah itu seperti hilangnya sesuatu yang dicintai, atau terkena sesuatu yang dibenci pada tubuh, hati ataupun harta, baik yang sifatnya di dalam ataupun di luar. Musibah ini bukan sengaja dilakukan hamba terhadap dirinya. Kerana itulah Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama memerintahkan seorang yang tertimpa musibah untuk melakukan amalan yang merupakan perbuatannya, dilakukan dengan kesedarannya, iaitu menyusuli kejelekan yang terlanjur dilakukan atau kejelekan yang menimpa dirinya dengan kebaikan.
Pada akhirnya Rasulullah salla Allah alaihi wa sallama berpesan, “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”
Akhlak baik terhadap manusia yang pertama adalah menahan diri dari mengganggu mereka dari segala sisi. Memaafkan keburukan mereka dan gangguan mereka terhadapmu, kemudian engkau bermuamalah dengan mereka dengan muamalah yang baik dalam ucapan mahupun perbuatan. Termasuk akhlak baik yang paling khusus adalah sabar menghadapi mereka, tidak jenuh dengan mereka, berwajah cerah, berkata lembut, berucap indah yang menyenangkan teman duduk, memberikan kegembiraan pada teman, menghilangkan rasa tidak enak di hati mereka, dan terkadang memberikan gurauan jika memang ada maslahat. Akan tetapi tidak sepantasnya banyak bergurau atau berjenaka. Kerana berjenaka dalam ucapan seperti garam pada makanan. Kalau tidak ada garam, makanan terasa hambar, namun bila terlalu banyak makanan menjadi masin. Dengan demikian, bila bergurau ini tidak ada atau sebaliknya melebihi batasan, maka menjadi tercela.
Termasuk akhlak yang baik adalah bergaul kepada manusia dengan apa yang sesuai bagi mereka dan sesuai dengan keadaannya, dengan memandang apakah orang yang diajak bergaul itu masih kecil atau sudah besar, berakal atau terbelakang, seorang alim ataukah orang yang jahil.
Sungguh, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Ta’ala, merealisasikan takwanya dan bergaul baik kepada manusia dengan perbezaan tingkatan mereka bererti ia telah mencapai kebaikan secara keseluruhan, kerana ia telah menegakkan hak Allah Ta’ala dan hak para hamba. Juga kerana ia termasuk orang yang berbuat ihsan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala dan berbuat ihsan terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, karya Al-’Allamah Abdurrahman ibnu Sa’di t, hal. 48-50)

No comments:

Post a Comment