Friday, 29 November 2013

IKUTILAH APA SAHAJA YANG BERASAL DARI RASULULLAH

Saudaraku kaum muslimin, ketahuilah! Salah satu sifat utama seorang muslim sejati itu adalah ittiba’ (mengikuti) apa saja yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam perkara ibadah, akhlaknya, aqidahnya, muamalahnya dan dalam perkara apa saja.Hal ini dilakukan sebagai bentuk realisasi firman Allah Ta’ala:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa saja yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan apa saja yang kalian di larang untuk mengerjakannya, maka berhentilah (tinggalkanlah)! ” (Al-Hasyr: 7)
Makna ayat tersebut di atas dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya sebagai berikut: “Yakni, apa pun yang kalian diperintahkan untuk melakukannya, maka lakukanlah (kerjakanlah)! Dan apapun yang kalian dilarang untuk mengerjakannya, maka jauhilah! Kerana sesungguhnya baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkan dengan kebaikan, dan hanya melarang kalian dari kejahatan@fasad.”Demikianlah! Sejalan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala tersebut di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga menegaskan:
“Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara, maka kerjakanlah semampu kalian! Dan apa saja yang aku larang kalian dari mengerjakannya, maka jauhilah (tinggalkanlah)!” (Muttafaqun ‘alaih)
Sebagai contoh penerapan ayat Al-Qur’an dan hadits tersebut di atas, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata (ketika mengajarkan ilmu agama ini kepada para sahabat dan tabi’in yang hidup di jaman itu, pent.):
“Allah melaknat para wanita yang membuat tahi lalat palsu (Al-Waasyimaat), dan wanita yang meminta untuk dibuatkan tahi lalat palsu (Al-Mustausyimaat), (dan juga melaknat) wanita yang mencukur (mengerik) bulu alisnya (Al-Mutanammishat), dan wanita yang meratakan gigi untuk keindahan (kecantikan), yang merubah ciptaan Allah .”
Kemudian sampailah berita itu kepada seorang wanita dari Bani Asad di rumahnya, yang bernama Ummu Ya’qub. Lalu dia datang menemui Ibnu Mas’ud dan berkata: “Telah sampai berita kepadaku, bahwa anda telah mengatakan begini dan begitu (yakni seperti yang di ucapkan oleh Ibnu Mas’ud tersebut di atas, pent.)” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Bagaimana aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah di laknat pula dalam kitabullah Ta’ala (Al-Qur’an)?” Lalu wanita itu pun berkata lagi: “Sesungguhnya aku benar-benar telah membaca (Al-Qur’an) semuanya, tetapi aku tidak mendapatinya (yakni tidak mendapati larangan seperti itu dalam Al-Qur’an, pent.)!” Ibnu Mas’ud menjawab: “Sesungguhnya jika Anda benar-benar membacanya, pasti akan mendapatinya. Bukankah anda telah firman Allah :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa saja yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan apa saja yang kalian di larang untuk mengerjakannya, maka berhentilah (tinggalkanlah)!” (Al-Hasyr: 7)
Wanita itu menjawab: “Benar!” Lalu Ibnu Mas’ud menjelaskan lagi: “Maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang darinya (yakni perbuatan-perbuatan yang tersebut dalam ucapan Ibnu Mas’ud terdahulu, pent.)!”Lalu wanita itu masih mengatakan: “Tetapi aku telah melihat keluargamu (isterimu) telah melakukan perbuatan tersebut.” Ibnu Mas’ud mengatakan: “Pergilah kamu (menemui keluargaku) dan lihatlah!” Kemudian wanita itu pun pergi kesana tetapi tidak melihat orang yang dicarinya (melakukan perbuatan yang dituduhkannya, pent.), kemudian dia datang lagi menemui Ibnu Mas’ud dan mengatakan: “Aku tidak melihat apa-apa!” Ibnu Mas’ud menjawab: “Kalau begitu kita sepakat!” (lihat kisah tersebut dalam Shahih Al-Bukhari juz 4 hal. 336, bagian Kitabut Tafsir, yakni Tafsir Surat Al-Hasyr, juga dalam Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari juz 7 hal. 631).
Kesimpulan yang boleh di ambil dari riwayat tersebut di atas menjelaskan pada kita bahwa pada hukum apapun yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, secara umum wajib dijadikan hujjah (argumentasi/dalil) dan sandaran amal ibadah. Baik itu berupa perintah maupun larangan, baik itu perkara Fardhu (wajib) maupun mustahab (sunnah), dan seterusnya! (Lihat Buletin As-Sunnah ini pada edisi No. 02, pada judul utama: Hubungan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an”)
Kemudian, berkaitan dengan firman Allah yang mulia ini pula, ada kisah menarik yang pernah disampaikan oleh Asy-Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu (guru di Madrasah Daarul Hadits Al-Khairiyyah di kota Mekkah Al-Mukarramah).Beliau mengatakan: “Ayat ini (Al-Hasyr ayat 7) diterapkan untuk semua perkara yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam perkara kejujuran, amanah, menepati janji, membiarkan jenggot panjang dan lain-lainnya dari perintah-perintah baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sungguh, sejak berapa tahun lamanya saya menasihati para jama’ah haji agar membiarkan janggut-janggut mereka memanjang dan menyuruh mencukur misai-misai mereka sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berdirilah salah seorang hadirin, dan dia meminta dalil dari Al-Qur’anul Karim yang menunjukkan wajibnya perkara tersebut. Lalu saya membacakan untuknya firman Allah Ta’ala:
“Dan apa saja yang datang dari Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian, maka ambillah (laksanakanlah), dan apa saja yang kalian di larang untuk mengerjakannya, maka hentikanlah (tinggalkanlah)!(Al-Hasyr: 7)
(Kemudian saya katakan padanya): Dan sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk membiarkan panjang janggut-janggut kita!” Lalu orang tersebut berkata: “Menurutku, sungguh Anda benar!” Maka setelah hari itu dia membiarkan jenggotnya panjang.” (Lihat kitab “Kaifa Nafhamul Qur’an” atau kitab Majmu’ah Rosaail At-Taujiihaati Al-Islamiyyah li Ashlaahil Faradi wal Mujtama’ juz 2 hal. 88, karya Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu hafizhahullah)Wallahu a’lamu bish shawwab.

No comments:

Post a Comment